Mengawali Kerja Dengan Sholat Dhuha


Tubuh manusia memiliki ratusan tulang yang masing-masing dihubungkan dengan persendian. Jumlah persendian dalam tubuh manusia adalah 360, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah SAW dan dibenarkan oleh para dokter. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana jika tulang-tulang yang ada dalam tubuh kita tersebut tidak dihubungkan dengan persendian. Atau salah satu persendian tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Maka, tidak ada yang mengetahui betapa besarnya nikmat ini kecuali orang yang telah kehilangan nikmat tersebut.

Shadaqah tanpa harta
Setiap hari, persendian kita mempunyai kewajiban untuk bershadaqah sebagai realisasi syukur kita kepada Allah, Dzat yang telah menciptakannya. Caranyapun beragam sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah SAW, 
"Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bershadaqah setiap harinya sejak matahari terbit. Memisahkan (menyelesaikan perkara) antara dua orang yang berselisih adalah shadaqah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah shadaqah. Berkata yang baik juga termasuk shadaqah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah shadaqah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu berat dan lelahnya kita jika harus melakukan berbagai amal tersebut setiap harinya. Sehingga para sahabatpun bertanya, "Siapa yang sanggup melakukan, wahai Rasulullah?" Maka beliau menjawab, "Jika ia tidak mampu, maka dua rakaat Dhuha sudah mencukupinya." (HR Ahmad Abu Dawud)

Rasulullah SAW memberikan kemudahan kepada umatnya, bahwa semua shadaqah yang dilakukan oleh anggota badan tersebut dapat diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha, karena shalat merupakan amalan semua anggota badan. Jika seseorang mengerjakan shalat, maka setiap anggota badan menjalankan fungsinya masing-masing. Demikian penjelasan yang disebutkan oleh Ibnu Daqiqil 'Ied.

Jumlah raka'at Dhuha minimal adalah 2 raka'at sedangkan maksimalnya adalah 8 raka'at. Dengan menjalankan 2 raka'at Dhuha, kita telah melaksanakan salah satu wasiat Rasulullah SAW. Abu Hurairah berkata, "Kekasihku, Rasulullah SAW berwasiat kepadaku dengan tiga perkara: puasa selama tiga hari setiap bulannya, dua raka'at shalat Dhuha, dan mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur." (Muttafaq 'Alaihi)

Keutamaan shalat dhuha
 
Meskipun bernilai sunnah, shalat ini mengandung banyak fadhilah (keutamaan), namun tidak banyak dari kita yang memperhatikannya. Diantaranya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Darda' ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Allah ta'ala berfirman, "Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat pada permulaan hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu pada sore harinya." (HR. Tarmidzi)

At Thayyibi menerangkan bahwa dengan mengerjakan empat rak'at di pagi hari, Allah akan mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita dan menjauhkan kita dari semua yang tidak kita inginkan hingga sore hari. Fadhilah lainnya, orang yang mengerjakannya dimasukkan dalam golongan orang-orang yang kembali kepada Allah. Karena shalat Dhuha adalah shalat awwabin, shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (bertaubat). Dalam hadits lain Rasulullah SAW menyebutkan bahwa pahala orang yang mengerjakan shalat Dhuha seperti orang yang mengerjakan umrah.

Menjadi kaya dengan shalat dhuha?

Ada diantara kaum muslimin yang begitu bersemangat mengerjakan shalat dhuha. Namun ironisnya ketika mereka melaksanakan shalat wajib, justru malas-malasan dan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Shalat subuh dikerjakan jam enam pagi dan salat asar hanya kalau sempat saja. Penyebabnya, ada tujuan lain ketika mereka mengerjakannya yaitu ingin mendapatkan balasan di dunia, biar lancar rezekinya dan menjadi orang yang kaya raya. Sehingga doa-doa yang dipanjatkannyapun hanya dengan kelancaran rizki. Demikian fenomena yang sering kita dapatkan di masyarakat. Dunia, mungkin saja mereka peroleh. Boleh jadi akan semakin lancar rizkinya dan karirnya terus meningkat. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat? Qatadah ketika menafsirkan surat Hud: 15-16, ia berkata, "Barang siapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan shalehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai alasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlas dalam beribadah (yang hanya mengharapkan wajah Allah), selain akan mendapatkan balasan di dunia dia juga akan mendapatkan balasannya di akhirat."

Luangkan waktu

Waktu pelaksanaan shalat Dhuha adalah ketika matahari mulai naik sepenggalan, kira-kira seperempat jam setelah matahari terbit hingga waktu zawal (matahari tergelincir). Dan waktu yang paling afdhal adalah ketika matahari mulai panas.

Memang, tidak mudah untuk melaksanakan shalat Dhuha. Karena waktunya bertepatan dengan jam-jam dimulainya aktivitas keseharian, orang sibuk bekerja mencari rezki pada waktu tersebut. Namun, sesempit apapun waktu kita karena aktivitas sehari-hari, jika kita luangkan waktu sejenak untuk mengerjakan shalat Dhuha, Insya Allah tidak akan mengurangi jatah rizki yang telah ditentukan untuk kita. Kalau toh meluangkan waktu pada waktu tersebut tidak memungkinkan pula, karena peraturan perusahaan yang begitu ketat dan mengikat, shalat Dhuha bisa kita kerjakan sebelum masuk jam kerja. Nah, mari awali kerja kita dengan melaksanakan shalat Dhuha.
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Hukum Tahlilan

Mengapa para ulama mengajarkan kepada umat Islam agar selalu mendoakan keluarganya yang telah meninggal dunia selama 7 hari berturut-turut ?
Telah banyak beredar pernyataan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari ajaran agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Berikut ini pendapat ulama salafus shaleh tentang hukum tahlilan :
Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan ra  pernah berkata :

إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام  

“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.
Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) juga menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2] Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuannya. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah SAW, sedangkan Rasulullah SAW mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah SAW. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. [4]
Ini merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]
Shadaqah seperti yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina Umar bin Khaththab ra, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :

قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه

“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar ra mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar ra ditikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib ra agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib ra datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar ra”.
Hikmah dari hadits ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.
Riwayat diatas juga disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab antara lain Ithaful Khiyarah (2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiriy al-Kinani (w. 840).

وعن الأحنف بن قيس قال: “كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي الله عنه- يقول: لا يدخل رجل من قريش في باب إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل قوله، حتى طعن عمر فأمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما، فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه، فجاء العباس بن عبد المطلب قال: يا أيها الناس، قد مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فأكلنا بعده وشربنا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده ومد الناس أيديهم
فأكلوا، فعرفت تأويل قوله “.رواه أحمد بن منيع بسند فيه علي بن زيد بن جدعان

“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab ra mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah SAW telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.
Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).
Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :

قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام

“Thowus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
Sementara dalam riwayat lain :

عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا

“Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.
Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob ra.
Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi SAW bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi SAW. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi SAW.
Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebagaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi SAW yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi SAW), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi SAW).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;

ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام

Berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi SAW telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi SAW sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi SAW, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad SAW.
Wallahu A’lam.
Sumber Rujukan :[1] Lihat : Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188 H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam al-Mathalibul ‘Aliyah (834).[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy : “menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata : “sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan kenduri shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthiy.[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim (3/444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin an-Nawawi asy-Syafi’i.[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Sahabat Islam, menikah adalah salah satu ibadah yang di anjurkan dalam islam, bahkan dalam beberapa pendapat yang mengatakan anjuran bagi yang mampu menikah dan dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam maksiat maka Hukum Menikah wajib baginya.
Hadis pokok yang menjadi acuan perintah nikah adalah hadis dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.” (HR. Bukhari 5065 dan Muslim 1400).
Dalam kaitanya pembahasan kali ini tentang Memaknai Pernikah Untuk Menyempurnakan Setengah Agama, mengutip  dari Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengatakan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa yang menikah, berarti telah melindungi setengah agamanya. Karena itu bertaqwalah kepada Allah untuk setengah agamanya yang kedua.” Ini merupakan isyarat tentang keutamaan nikah, yaitu dalam rangka mlindungi diri dari penyimpangan, agar terhinndar dari kerusakan. Karena yang merusak agama manusia umumnya adalah kemaluannya dan perutnya. Dengan menikah, maka salah satu telah terpenuhi. (Ihya Ulumiddin, 2/22)
Demikian pula penjelasan yang disampaikan Al-Qurthubi. Beliau mengatakan,
 “Siapa yang menikah berarti telah menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu bertaqwalah kepada Allah untuk setengah yang kedua.” Makna hadis ini bahwa nikah akan melindungi orang dari zina. Sementara menjaga kehormatan dari zina termasuk salah satu yang mendapat jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan surga. Beliau mengatakan, ‘Siapa yang dilindungi Allah dari dua bahaya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, yaitu dilindungi dari dampak buruk mulutnya dan kemaluannnya.’   (Tafsir al-Qurthubi, 9/327).
Dengan pernikahan maka seseorang dapat menjaga kemaluannya dari hal-hal yang diharamkan oleh agama, yaitu zina. Hal itu dikarenakan bahwa naluri seseorang yang paling kuat dan keras adalah naluri seks dan naluri ini menuntut adanya solusi, dan islam memberikan solusinya dengan cara yang mulia yaitu, pernikahan.
Manfaat lainnya dari menikah adalah ketentramana jiwa, kebugaran jasmani, terpeliharanya mata dari pandangan-pandangan yang diharamkan, ketenangan hati, kejernihan fikiran dan kehormatan diri, sebagaimana firman Allah swt :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Ruum : 21)
Imam Al Ghazali mengatakan bahwa hadits diatas memberikan isyarat akan keutamaan menikah dikarenakan dapat melindunginya dari penyimpangan demi membentengi diri dari kerusakan. Dan seakan-akan bahwa yang membuat rusak agama seseorang pada umumnya adalah kemaluan dan perutnya maka salah satunya dicukupkan dengan cara menikah.” (Ihya Ulumuddin)
Wallahu a’lam.
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Mencari Berkah di Dalam Kehidup

Sahabat Islam, Berkah ini sering kita jadikan tujuan hidup di samping mencari ridho Allah. Mencari Berkah di Dalam Kehidup pada hakekatnya adalah mencari bahagia. Di pesantren atau di acara pengajian, kita diajarkan yang terpenting mencari berkah, bukan sekadar kepintarannya. Kalau sekadar pintar saja tetapi tidak berkah maka ilmu tersebut bisa menjadi malapetaka.
Orang tua kita juga memberi pesan agar dalam hidup, yang kita cari adalah berkah. Dan berkah ini tidak selalu berkorelasi dengan banyaknya harta yang kita miliki. Ada sebuah hadits yang sering dijadikan doa, terutama kepada pengantin yang seringkali dijadikan sebuah kutipan dalam undangan pernikahan.
بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا
Artinya: “Semoga Allah memberi berkah untukmu, memberi bekas atasmu, dan menghimpun yang terserak di antara kalian berdua.” (HR At-Turmudzi)
Dalam kajian ilmu Nahwu kalimat “laka”, itu digunakan untuk hal-hal yang sifatnya menguntungkan atau menyenangkan. Kalau yang tidak enak, menggunakan kata “alaika”. Ternyata, bahasa laka dan alaikadigunakan oleh Rasulullah dalam hadits tersebut supaya orang itu mendapat keberkahan baik dari hal yang enak maupun yang tidak enak. Semuanya ada nilai keberkahannya. Bagi sementara orang, keberkahan itu sesuatu yang enak secara fisik saja. Padahal bisa jadi, yang tidak enak itu lah yang sebenarnya menjadi berkah.
Misalnya, setelah menjadi seorang anggota DPR harus masuk penjara. Ini menunjukkan sesuatu yang tampaknya enak, berupa jabatan tinggi yang dihormati banyak orang, ternyata malah membawa bencana. Orang sakit juga bisa mendapat keberkahan karena dengan beristirahat, maka ia memiliki kesempatan untuk mengevaluasi dirinya, momen yang ia peroleh lantaran kesibukan dirinya. Ini menunjukkan bahwa antara yang menguntungkan dan tidak menguntungkan, sama-sama mendapat peluang mendapat keberkahan.
Bertambahnya sesuatu juga belum tentu membawa kebaikan jika tidak mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang tambah umurnya belum tentu lebih berkah, orang yang tampak rezekinya juga belum tentu tambah berkah. Demikian pula, orang yang tambah ilmu juga belum tentu mendapatkan berkah jika ilmu tersebut hanya menjadi kebanggaan diri, bukan untuk diajarkan kepada orang lain atau untuk menambah keimanan kepada Allah.
مَنِ ازْدَادَ عِلمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدىً لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلّا بُعْدًا
Artinya, Barangsiapa bertambah ilmunya namun tidak bertambah petunjuk yang ia raih, niscaya dia hanya menambah jauh jarak dari Allah
Jadi ilmu tambah bukan berarti semakin dekat dengan Allah. Ini adalah cerminan dari ilmu yang tidak berkah.
Berkah itu maknanya kebahagiaan. Orang berbahagia itu sering diukur hanya dari ukuran fisiknya. Benarkah demikian? Dalam pandangan agama, tanda-tanda kebahagiaan tidak selalu yang tampak secara dhahir. Karena tampilan lahiriah sejumlah orang bisa saja seolah bahagia, tapi batin mereka menderita.
ومِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. (QS: al-Rum 21)
Sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah adalah Ia menciptakan istri-istri yang dapat menentramkan jiwa dan menciptakan kasih sayang antara keduanya. Kebahagian rumah tangga bukan terletak pada kecantikan istri atau kekayaan suami. Misalnya, apa iya kalau punya istri cantik terus berbahagia. Mungkin iya, tetapi mungkin saja tambah pusing. Belum tentu mendapat kebahagiaan. Betapa banyak pasangan cantik rupawan yang justru berakhir pada perceraian. Bahkan rata-rata penggugat datang dari perempuan. Ini bukti bahwa mereka tidak bahagia. Karena itu, hal yang bersifat dhahir menarik tidak menjamin rasa bahagia.
Standar untuk menilai kebahagiaan keluarga tidak dilihat dari harta apa yang dimiliki, tetapi apakah suami istri tersebut memiliki akhlak yang baik. Jika mereka memiliki akhlak yang mulia, insyaallah mereka akan berbahagia.
Mencari Berkah di Dalam Kehidup bisa kita raih dengan senantiasa mendekatkan diri kita kepada Allah subhanahu wata’ala seraya terus menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, seperti syukur, qana’ah, gemar bersedekah, berbakti kepada kedua orang tua, dan lain-lain.
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati